Beberapa hari lalu saya kedatangan
klien dari luar kota. Ibu ini, sebut saja, Bu Ani, mengeluhkan cukup banyak
hal. Beberapa di antaranya adalah sulit tidur, jantung berdebar, produksi asam
lambung berlebihan, takut gelap, dan kecemasan yang cukup tinggi.
Singkat cerita, setelah melalui
proses wawancara mendalam saya mendapatkan beberapa hal penting sebagai titik
awal terapi yang akan saya lakukan. Salah satu sumber masalah adalah emosi
marah, terluka, kecewa, sakit hati, dan jengkel terhadap suaminya.
Apa yang harus dilakukan dalam
kondisi ini? Apakah saya akan melakukan regresi untuk menemukan sumber masalah?
Apakah saya akan melakukan Hypno-EFT untuk menetralisir emosinya? Ataukah
dengan teknik yang lain?
Sebenarnya untuk membereskan suatu
masalah, lebih tepatnya emosi negatif, tidaklah sulit. Ada sangat banyak teknik
yang bisa digunakan, yang telah teruji secara klinis mampu membereskan
emosi-emosi negatif seintens apapun. Namun dalam kasus ini saya tidak bisa
melakukan regresi maupun teknik lain untuk menemukan akar masalah. Lha,
buat apa diregresi? Sumber masalahnya sudah jelas.
Masalah ini, tentunya berdasarkan
versi Bu Ani, yang disebabkan oleh pemberian makna terhadap tindakan atau
perbuatan suaminya terhadap dirinya, selalu benar menurut pikiran klien. Dalam
hal ini klien tidak bisa dan tidak boleh disalahkan sama sekali. Yang perlu
dilakukan adalah menetralisir emosinya dan diikuti dengan reedukasi pikiran
bawah sadar.
Namun yang menjadi pertanyaan
adalah, “Katakanlah emosi Bu Ani sudah berhasil dinetralisir, tapi kan ia masih
tinggal bersama suaminya, yang notabene adalah sumber masalahnya. Nanti pasti
muncul lagi emosi negatifnya. Kalau begini terus kan capek deh. Apa yang harus
dilakukan?’
Ini tentunya tidak mudah. Yang
dihadapi klien ini masuk dalam kategori ‘Unresolved Present Issue”. Artinya,
masalah yang dihadapi klien adalah masalah yang terjadi dari masa lalu,
berlanjut hingga masa sekarang, dan bisa berlangsung terus hingga ke masa
depan.
Singkat cerita setelah terapi Bu Ani
merasa sangat lega. Edukasi pikiran bawah sadarnya juga berlangsung dengan
mudah. Barusan saya melakukan follow up keadaannya. Dari jawaban yang dikirim
oleh anak Bu Ani katanya sekarang kondisi ibunya sudah sangat baik dan stabil.
Dengan demikian apa yang dilakukan oleh suaminya sudah tidak lagi memengaruhi
Bu Ani.
Anda pasti bertanya, “Pak Adi, apa
yang Bapak lakukan pada Bu Ani sehingga apa yang dilakukan suaminya sudah tidak
lagi memengaruhi dirinya?”
He..he.. kalau ini nggak bisa saya
jawab di sini ya. Bukannya saya nggak mau. Tapi akan sangat panjang dan teknis.
Salah satu hal yang saya sarankan
untuk Ibu Ani lakukan adalah ia perlu menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang
positif dan konstruktif. Lha, selama ini, yang kerja suami dan anaknya. Bu Ani
praktis jadi pengacara alis pengangguran tanpa acara. Yang Bu Ani lakukan
setiap hari adalah menonton sinetron dan berbagai acara televisi yang masuk
kategori negatif dan provokatif. Nggak perlu saya sebutkan ya, anda tahulah
sendiri maksud saya.
Bu Ani sendiri mengakui bahwa dulu
waktu anak-anaknya masih kecil, pikirannya tidak senegatif sekarang ini. Memang
ada masalah dalam keluarga. Tapi ini biasa saja dan tidak terlalu memengaruhi
dirinya. Saat anaknya mulai besar dan sekolah atau kuliah di Surabaya, nah saat
itulah perasaan tidak nyaman mulai mendera dirinya. Sampai saat ia bertemu
dengan saya. Dan memang hal ini diperparah oleh tindakan suaminya.
Nah, pikiran yang menganggur, yang
hanya diisi dengan hal-hal negatif, justru akan semakin berbahaya. Salah satu
sifat pikiran adalah aktif memikirkan sesuatu, baik itu yang positif atau yang
negatif. Dan dari pengalaman terbukti bahwa pikiran kita lebih cenderung
memikirkan hal-hal negatif daripada yang positif. Lho, kok bisa begini?
Kita ini dari kecil lebih banyak
menerima program negatif. Ada yang mengatakan bahwa perbandingan hal positif
dan negatif yang kita terima sejak kecil adalah satu berbanding empat belas.
Maksudnya, untuk satu hal positif maka ada sekitar empat belas hal negatif lain
yang kita juga terima.
Saya jadi teringat rekan saya, Pak
Merta Ada, guru meditasi terkenal dari Bali, yang juga berbicara di Quantum
Life Transformation Weekend di Jakarta baru-baru ini. Pak Merta mengatakan
bahwa jika tidak dijaga maka pikiran akan cenderung mengarah ke hal-hal
negatif. Pikiran negatif ini akan mengakibatkan timbulnya energi negatif yang
selanjutnya akan mempengaruhi tubuh cakra, tubuh meridian, dan akhirnya akan
memengaruhi tubuh fisik kita.
Nah,untuk mengatasi hal-hal negatif
inilah saya menyarankan Bu Ani untuk mulai menyibukkan dirinya dengan hal-hal
yang positif. Misalnya membantu mengasuh cucunya, menanam dan merawat tanaman
yang ia suka, karaoke, mengikuti kegiatan gereja, senam, dancing, aktif melakukan
bakti sosial, membaca, meditasi, atau apapun itu yang bisa menyibukkan dirinya
secara positif.
Pikiran yang disibukkan dengan
hal-hal positif dapat menetralisir hal-hal negatif yang sebenarnya tidak
negatif. Sesuatu yang sebenarnya tidak negatif menjadi negatif karena pikiran
yang menganggur nggak ada kerjaan mencari-cari kesibukan sendiri, tidak
terkendali, dan akhirnya menghasilkan kebosanan atau bahkan emosi negatif.
Saat pikiran mulai negatif biasanya
kita tidak menyadarinya. Ibarat bola salju yang baru bergulir turun dari atas
bukit. Semakin lama bola salju ini semakin besar baik ukuran maupun
momentumnya, hingga suatu saat kita menyadarinya namun sudah terlambat. Kita
digulung, larut, dan dikuasai oleh pikiran negatif. Jika sudah mencapai level
ini maka sangatlah sulit untuk menghentikan pikiran negatif dengan cara biasa.
ConversionConversion EmoticonEmoticon